Zaman Keemasan Islam 

Kisah 1001 Malam Negeri Penuh Keajaiban Pada Zaman Dahulu Kala tersebut boleh dialami lagi oleh insan-insan Muslim di Zaman Modern sekarang ini. Boleh jadi Kisah 1001 Malam Negeri Penuh Keajaiban di Masyarakat Muslim di Zaman Modern ini malah lebih tenang dan lebih senang dan damai karena sungguh dalam sekali berserah dirinya kepada Allah SWT.

Disebutkan di dalam Kitab Kisah Para Nabi bahwa Nabi Muhammad s.a.w. dilahirkan di Mekkah, pada 12 Rabiulawal 571 atau tahun 632 Sesudah Masehi. Ibu beliau Aminah binti Wahb, yang adalah anak perempuan dari Wahb bin Abdul Manaf dari keluarga Zahrah. Beliau wafat pada umur 63 tahun.Ayah beliau Abdullah yang adalah anak Abdul Muthalib. Beliau dilahirkan disuatu kaum yang bernama Quraish. Kaum Quraish bukan penduduk asli kota Mekkah. Kaum Quraish adalah pendatang yang hijrah dari suatu tempat ke suatu tempat yang bernama Mekkah.

Ayah beliau meninggal sebelum kelahiran beliau. Sementara ibu beliau meninggal ketika baginda berusia kira-kira enam tahun. Paristiwa meninggalnya ibu beliau tersebut menjadikan beliau seorang anak yatim-piatu. Menurut tradisi keluarga golongan atas Mekkah, beliau akhirnya dipelihara oleh seorang ibu angkat(ibu susu:-wanita yang menyusukan baginda) yang bernama Halimah as-Sa’adiah di kampung halamannya di pegunungan selama beberapa tahun. Dalam tahun-tahun itu, baginda telah dibawa ke Mekkah untuk mengunjungi kakek beliau dan beliau tinggal di Mekkah diasuh oleh kakek beliau, Abdul Muthalib. Setelah kakek beliau meninggal, beliau dijaga oleh paman beliau yang bernama Abu Talib. Ketika inilah beliau sering kali membantu mengembala kambing-kambing paman beliau di sekitar Mekkah dan kerap menemani paman beliau dalam urusan perdagangan ke Negeri Syam yang disebut Negeri Suriah.

Oleh pemimpin kaum Quraish yang bernama Waraqah bin Nawfal, Muhammad dipersiapkan untuk menjadi pemimpin yang mempersatukan kaum yang hijrah dan kaum-kaum lainnya di tanah Arab. Waraqah bin Nawfal menikahkan Muhammad dengan sepupunya yang bernama Siti Khatijah. Waraqah bin Nawfal adalah seorang buta yang hafal Kitab Allah Injil dalam bahasa Ibrani, yakni, bahasa asli Nabi Isa di Tanah Suci Al Quds Ur Salim dan menerjemahkannya ke dalam bahasa yang bisa difahami orang-orang Quraish dan orang-orang tempatan di Tanah Arab.

Beliau terpanggil membebaskan orang-orang dari kejahiliyahan menuju ke Islam yakni suatu keadaan yang berserah diri kepada Allah yang disembah Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub, dimana orang-orang Jahiliyah akhirnya banyak yang menjadi orang-orang yang beriman dan berserah kepada Allah SWT.

Beliau adalah teladan akan keyakinan pada Enam Rukun Iman dengan sungguh-sungguh:

Lima Rukun Islam

Zaman Nabi Muhammad adalah Zaman Keemasan Islam.

Beliau sungguh-sungguh meyakini apa yang disebut Kitab Allah Al Qur’an di Surah Al Baqarah [2], ayat 136 …

قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Katakanlah (wahai orang-orang yang beriman): “Kami beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami (Al-Quran), dan kepada apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dan Nabi Ishak dan Nabi Yaakub serta anak-anaknya, dan juga kepada apa yang diberikan kepada Nabi Musa (Taurat) dan Nabi Isa (Injil), dan kepada apa yang diberikan kepada Nabi-nabi dari Tuhan mereka; kami tidak membeza-bezakan antara seseorang dari mereka; dan kami semua adalah Islam (berserah diri, tunduk taat) kepada Allah.”

Setelah Nabi Muhammad s.a.w. wafat, para sahabat Nabi meneruskan Zaman Keemasan Islam tersebut.

Setelah wafatnya Nabi Muhammad s.a.w., Zaman Keemasan Islam masih tetap terasa di banyak penjuru dunia sejak Tahun 500-an sampai 1400-an.

Zaman Keemasan Islam yang terjadi Tahun 500-an sampai 1400-an tersebut, menurut buku-buku teks Pendidikan Agama Islam, adalah zaman dimana banyak bermunculan para ilmuwan Muslim, yaitu Zaman Daulah Abbasiyah dan kawan-kawannya, tidak boleh dipungkiri juga bahwa zaman tersebut menunjukkan kebesaran dan kehebatan Islam. Daulah Kekhalifahan Bani Abbas biasa dikaitkan dengan Daulah Khalifah Harun Al-Rasyid, yang disebut-sebut sebagai Daulah Khalifah yang paling terkenal dalam zaman keemasan kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam memerintah Daulah Khalifah Harun Al-Rasyid digambarkan sangat bijaksana, yang selalu didampingi oleh penasihatnya, Abu Nawas, seorang penyair yang kocak, yang sebenarnya adalah seorang ahli hikmah atau filsuf etika.

Zaman keemasan itu digambarkan dalam kisah 1001 malam sebagai negeri penuh keajaiban. Sebenarnya zaman keemasan Bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur yaitu pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M) dan mencapai puncaknya di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid.

Di masa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Berbagai buku bermutu diterjemahkan dari peradaban Suryani, India maupun Yunani. Dari peradaban Suryani, yang ketika itu terkenal dengan kearifan Para Hawariyun pengikut setia Nabi Isa Alaihissalam, diterjemahkan Kitab-kitab At Taurat, Az Zabur dan Al Injil dari Bahasa Suryani ke dalam Bahasa Arab.

Dari peradaban India misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita fabel yang bersifat anonim. Dari Peradaban Yunani, dibaca Kitab Injil yang merupakan Kitab Allah. Dari bahasa Peradaban Ibrani, dibaca Kitab At Taurat dan Az Zabur. Kitab-kitab yang bukan dalam bahasa Arab tersebut dikaji dan menjadi khazanah perpustakaan Muslim.

Berbagai dalil dan dasar matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal dari India. Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani, terutama filsafat etika dan logika. Salah satu akibatnya adalah berkembangnya aliran pemikiran muktazilah yang sangat mengandalkan kemampuan rasio dan logika dalam dunia Islam. Sedangkan dari sastera Persia terjemahan dilakukan oleh Ibnu Mukaffa, yang meninggal pada tahun 750 M. Pada masa itu juga hidup budayawan dan sastrawan masyhur seperti Abu Tammam (meninggal 845 M), Al-Jahiz (meninggal 869 M), Abul Faraj (meninggal 967 M) dan beberapa sastrawan besar lainnya. Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang sastra dan seni saja, melainkan juga berkembang , meminjam istilah Ibnu Rusyd, Ilmu-ilmu Naqli dan Ilmu Aqli.

Ilmu-ilmu Naqli seperti Tafsir, Teologi, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain. Dan juga berkembang ilmu-ilmu Aqli seperti Ilmu Falak Astronomi, Matematika, Kimia, Bahasa, Sejarah, Ilmu Alam, Geografi, Kedokteran dan lain sebagainya. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan dan dalam linguistik atau ilmu bahasa muncul antara lain Ibnu Malik At-Thai seorang pengarang buku nahwu yang sangat terkenal, dan Alfiyah Ibnu Malik, dalam bidang sejarah muncul sejarawan besar Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh besar lainnya yang memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.

Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada Zaman Harun Al-Rasyid. Masa itu berlangsung sampai dengan masa Al-Makmun. Al-Makmun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Peadaban Yunani. Kecenderungan orang-orang Muslim secara sukarela sebagai anggota milisi mengikuti perjalanan perang sudah tidak lagi terdengar. Keaskaran kemudian terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang profesional. Militer Daulah Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat. Akibatnya, tentara itu menjadi sangat dominan sehingga Khalifah berikutnya sangat dipengaruhi atau menjadi boneka mereka.

Sebagai respon dari kenyataan tersebut Khalifah Al-Wasiq (842-847 M) mencoba melepaskan diri dari dominasi askar-askar Turki tersebut dengan memindahkan ibukota ke Samarra, tetapi usaha itu tidak berhasil mengurangi dominasi militer Turki. Khalifah Al-Wasiq sangat tidak suka dengan segala macam kedzoliman dan penjajahan. Salah satu faktor penting yang merupakan penyebab Daulah Abbasiyah pada periode pertama ini berhasil mencapai masa keemasan ialah terjadinya persamaan derajat atau asimilasi dalam Daulah Abbasiyah ini. Diikutkannya unsur-unsur non Arab, terutama bangsa Suryani dan Persia, dalam pembinaan peradaban Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Makmun.

Pada masa itu perpustakaan-perpustakaan tampaknya lebih menyerupai sebuah universitas ketimbang sebuah taman bacaan. Orang-orang datang ke perpustakaan itu untuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Di samping itu, perpustakaan ini juga berfungsi sebagai pusat penerjemahan. Tercatat kegiatan yang paling menonjol adalah pengkajian terhadap buku-buku kedokteran, filsafat, matematika, kimia, ilmu falak astronomi dan ilmu alam. Di masa-masa berikutnya para ilmuwan Islam bahkan mampu mengembangkan dan melakukan inovasi dan penemuan sendiri. Santun dan keterbukaan dan rendah hati membuat insan-insan Muslim yang saleh ketika itu dengan mudah mengambil hikmah dari segala pengalaman sudut pandang. Di sinilah letak sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban dunia.

Firman Allah di dalam Kitab Al Qur’anul Karim, Surah Al Hujurat [49] ayat 13, diamalkan dengan sungguh-sungguh oleh insan-insan Muslim di Zaman Keemasan Islam ketika itu.

Firman Allah tersebut berbunyi:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwanya di antara kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam PengetahuanNya (akan keadaan dan amalan kamu).

Jadi masyarakat Muslim yang seharusnya menjadi pewaris hasil penelitian ilmuwan Muslim yang saleh di Zaman Keemasan Islam tersebut, jangan sampai malah tidak suka melakukan penelitian ilmiah, jangan suka meniru dan membajak hasil karya orang lain dan jangan sampai terkesan mundur dan gagap dan tidak tahu menahu soal pemanfaatan teknnologi. Bangsa-bangsa Muslim tidak boleh bangga dengan kemiskinan, jangan sampai yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, jangan suka perang harga diri, jangan mengizinkan pembiaran kebodohan dan pembiaran masalah, jangan membiarkan rasuah, nepotisme, mengatur solusi tapi sebenarnya bukan solusi, reka-rekaan untuk mengatur dalam berbagai hal yang ujungnya menzalimi rakyat sendiri yang tidak tahu apa-apa.

Pada tahun 800-an sampai 1400-an, masyarakat Muslim pada saat itu paling maju dalam bidang sains, penelitian, teknologi, industri, dagang, dan lain-lain. Tahun-tahun tersebut antara lain menghasilkan Muslim yang genius dalam bidang logika, penelitian, sains, literatur dan filsafat, antara lain:

Mengapa Muslim yang saleh yang hidup pada Zaman Keemasan Islam (tahun 800 sampai 1400) pada zaman dahulu tersebut boleh maju dalam penelitian ilmiah dan tehnologi terapan, semacam, tehnologi terapan matematika, ilmu logika, ilmu aljabar atau ilmu hisab (ilmu hitung), astronomi, ilmu hayat, oceanologi, kedokteran, ilmu jiwa atau ilmu qolbu dll? Bahkan sistim angka yang dipakai sampai pada zaman modern sekarang ini adalah sistim angka yang ditemukan oleh cendikiawan-cendikiawan Muslim di Zaman Keemasan Islam.

Ketika itu, banyak teknologi dikembangkan dari hasil penelitian ilmuwan Muslim tersebut. Bagaimanapun juga, mereka telah memberikan sumbangan besar terhadap kehidupan ini. Tapi anehnya, sekarang ini yang boleh meneruskan dan mengembangkan hasil penelitian ilmuwan Muslim yang saleh tersebut justru bangsa-bangsa kafir yang dulunya justru menyembah dewa-dewa seperti misalnya bangsa-bangsa di benua Eropa. Dengan begitu, di sana terkesan tidak ada muslim tapi ada Islam. Tapi di sini, ada banyak sekali muslim tapi tidak ada Islam.

Terbalik! Sungguh sangat ironis! Tapi, belum terlambat, jom sekali lagi menikmati keemasan Islam!